Kerinci merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat
di wilayah Jambi. yang merupakan wilayah perbatasan dengan Provinsi Sumatera
Barat, yang dibatasi oleh gunung tertinggi di Sumatera yaitu Gunung Kerinci,
maka dengan demikian structural budaya di Kerinci sangatlah beragam. dengan
demikian, maka terjadi akulturasi
antara budaya Sumatera Barat, budaya Jambi, dan budaya Kerinci sebagai budaya
asli. Akulturasi itu membuat bahasa
di daerah Kerinci juga berbeda, Kerinci ini terbagi lagi tiga bagian, Kerinci
Mudik, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir, semua daerah itu memiliki bahasa yang
berbeda. Begitupun dengan Masyarakat, juga bermacam ragam,ada yang dari suku
asli Kerinci, Minangkabau, Jawa, Jambi, Cina dan lain-lain.
Siulak pada dahulunya dibagi menjadi 3 (tiga)
wilayah, yang mana dipimpin oleh masing-masing penghulu, adapun ketiga wilayah
itu merupakan, Siulak Mukai, Siulak Gedang, dan Siulak Panjang[1]. Sehingga kehidupan social
dari masyarakat ini amatlah tentram, karena para penghulu atau pemimpin daerah
ini menjalin hubungan yang sangat erat, sehingga tidak ada pertikaian/konflik
yang terjadi didaerah Siulak.
Wilayah Siulak merupakan daerah yang dibagi menjadi
dua bagian oleh sungai Batang merao. yakni Siulak Gedang dan Siulak Mukai. Siulak
Mukai meliputi, desa Mukai Mudik, desa Mukai Tengah, desa Mukai Hilir, desa Sungai
Langkap, desa Mukai Pintu, dan desa Mukai Tinggi. Sedangkan Siulak Gedang,
meliputi desa Siulak Gedang, desa Siulak
Kecil, desa Siulak Panjang, desa Dalam, desa Dusun Baru Siulak, desa Telaga
Biru, desa Koto Aro[2].
Perbedaan wilayah sangat berpengaruh terhadap
masyarakat, walaupun perbedaan wilayah itu hanya disebabkan oleh sungai Batang merao
yang membentang membagi wilayah ini. Kebudayaan khusus atas factor kedaerahan,
factor kedaerahan akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang dimana
ia bertempat tinggal.[3] Namun dengan demikian
membuat suatu sifat fanatik yang tinggi untuk menjunjung kebibawaan wilayah
mereka walaupun berakibat konflik.
Penduduk wilayah siulak mukai pada umumnya merupakan
masyarakat pribumi yang sudah lama menetap dan bertempat tinggal di wilayah
ini. Sedangkan penduduk dari siulak gedang terdiri dari masyarakat pribumi dan
masyarakat pendatang yang kemudian menetap di wilayah Siulak Gedang ini,
msayarakat pendatang pada umumnya berasal dari Sumatera Barat yang merantau ke
kerinci dan menjadi masyarakat kerinci, dan pendatang lainnya berasal dari jawa[4].
Pada tahun 1950 Kehidupan masyarakat Siulak memiliki
sebuah tradisi perang, yang dinamakan perang tanah beludai[5]. Tradisi perang ini
dilakukan setelah panen padi (padi yang umurnya bias sampai satu tahun untuk
panen), hal itu yakini bahwa perang ini akan membawa berkah terhadap hasil
panen padi untuk selanjutnya. Tradisi perang ini juga bertujuan olah raga saja[6].
Perang tanah beludai tidak diperkenankan membawa
senjata tajam[7],
seperti golok, pisau dan senjata tumpul lainnya, dalam tradisi perang beludai
sangat di junjung sportifitas, dimana hanya menggunakan tangan kosong untuk
melawan dan melindungi diri, serta mengandalkan tenaga sendiri.
Tradisi perang pada awal mula kejadiannya dilakukan
oleh sekelompok anak-anak, anak-anak dari desa yang satu dengan yang lain,
sehingga perang tanah beludai ini bisa dibilang perang antar desa, antara desa
yang satu dengan yang lain. Kemudian para pemuda juga ikut serta, jadi secara
lansung tidak lansung perang itu berubah dari perang antara anak-anak, berubah
menjadi perang remaja, seringkali orang dewasa ikut dalam perang itu, kemudian
dengan ikutnya kaum dewasa maka perang yang awalnya didalam desa berpindah ke
luar desa yang dibawa ke tanah beludai.[8]
Tradisi perang itu sangat ditunggu oleh masyarakat
Siulak, sehingga perang itu menjadi tontonan bagi masyarakat di sore hari, baik
bagi kaum perempuan maupun golongan tua. Golongan remaja sangat bersemangat
ketika ditonton oleh para gadis-gadis, karena “ ado batino batambah iyang ati kito duen, apolagi ado uhang ngan kito
kasayeng nonton”[9]artinya “dengan adanya
wanita menonton menimbulkan semangat yang besar, apalagi wanita yang kita
sayang”.
Perang itu selesai ketika akan masuk waktu Magrib, Setelah
masuknya waktu magrib dilakukan mandi bersama di sungai, untuk membersihkan
diri, karena perang itu dilakukan dipersawahan yang penuh dengan lumpur.
Setelah perang itu selesai, selesailah cerita perang tersebut, dan tidak ada
dendam antara yang satu dengan yang lain[10].
Tradisi perang ini ketika musim menanam padi,
tradisi ini bersambung. karena, Pada
saat itu orang-orang sibuk dengan acara menanam padi, tempat perang itu
ditanami padi, sehingga perang dihentikan untuk sementara waktu hingga musim
panen padi yang selanjutnya.[11]
Tradisi ini sudah menjadi kewajiban setelah panen
bagi masyarakat Siulak Mukai, sampai saatnya ditahun 1994 didalam tradisi ini
memakan korban jiwa yang bernama Mat Johar, yang mana Mat Johar merupakan salah
satu anggota keamanan setempat yang diutus oleh Kodim beserta kaum adat
setempat, bekerja sama untuk memberhentikan konflik tradisi dikarenakan tradisi
itu sudah mulai memakai senjata, dan juga meresahkan pemerintahan setempat[12]. Namun peleraian yang
dilakukan oleh pasukan itu membuat Mat Johar meninggal dunia yaitu pada tanggal
27 April 1994. Setelah meninggalnya Mat Johar, Konflik itu diselesaikan oleh kodim dan
pemerintahan setempat beserta kaum adat, supaya tidak terjadi korban jiwa untuk
selanjutnya.
Berakhirnya tradisi tanah berudai juga ada
pengaruhnya terhadap kemajuan teknologi dibidang pertanian, bibit unggul (padi
BB) yang diberikan kepada masyarakat pada tahun 1994. Bibit padi unggul ini memiliki
umur jauh lebih singkat yakni 3 bulan, dibandingkan dengan bibit padi
sebelumnya yang berumur sekitar satu tahun[13].sehingga dengan adanya
pembagian bibit unggul kepada masyarakat membuat terjadinya perubahan kebiasaan
pada masyarakat.
Perang tanah beludai yang sudah lama dilansungkan ini
membawa dampak buruk terhadap kepribadian masyarakat Siulak Mukai, karena
susahnya menghilangkan tradisi yang sudah lama terjadi di masyarakat Siulak
Mukai yang berawal dari hilangnya tradisi tersebut.
[1] Wawancara dengan
Anasrizal
[2] Wawancara dengan
Anasrizal
[3] Elly M. Setiadi,
Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2011)
hal. 183
[4] Wawancara dengan
sudiro
[5] Perang tanah berudai
yaitu perang yang dilaksanakan disuatu tempat yang mana tempat itu merupakan
daerah persawahan di belakang desa siulak mukai tersebut dan diselenggarakan
setelah pelaksanaan panen padi.
[7] Wawancara dengan
Naspuriadi
[8] Wawancara dengan
Martinus
[9] Wawancara dengan Emriadi
[10] Wawancara dengan
Naspuriadi
[11] ibid
[12] Wawancara dengan
Martinus
[13] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar