Kamis, 30 Mei 2013

Tanah beludai


Kerinci merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di wilayah Jambi. yang merupakan wilayah perbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, yang dibatasi oleh gunung tertinggi di Sumatera yaitu Gunung Kerinci, maka dengan demikian structural budaya di Kerinci sangatlah beragam. dengan demikian, maka terjadi akulturasi antara budaya Sumatera Barat, budaya Jambi, dan budaya Kerinci sebagai budaya asli. Akulturasi itu membuat bahasa di daerah Kerinci juga berbeda, Kerinci ini terbagi lagi tiga bagian, Kerinci Mudik, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir, semua daerah itu memiliki bahasa yang berbeda. Begitupun dengan Masyarakat, juga bermacam ragam,ada yang dari suku asli Kerinci, Minangkabau, Jawa, Jambi, Cina dan lain-lain.
Siulak pada dahulunya dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah, yang mana dipimpin oleh masing-masing penghulu, adapun ketiga wilayah itu merupakan, Siulak Mukai, Siulak Gedang, dan Siulak Panjang[1]. Sehingga kehidupan social dari masyarakat ini amatlah tentram, karena para penghulu atau pemimpin daerah ini menjalin hubungan yang sangat erat, sehingga tidak ada pertikaian/konflik yang terjadi didaerah Siulak.
Wilayah Siulak merupakan daerah yang dibagi menjadi dua bagian oleh sungai Batang merao. yakni Siulak Gedang dan Siulak Mukai. Siulak Mukai meliputi, desa Mukai Mudik, desa Mukai Tengah, desa Mukai Hilir, desa Sungai Langkap, desa Mukai Pintu, dan desa Mukai Tinggi. Sedangkan Siulak Gedang, meliputi  desa Siulak Gedang, desa Siulak Kecil, desa Siulak Panjang, desa Dalam, desa Dusun Baru Siulak, desa Telaga Biru, desa Koto Aro[2].
Perbedaan wilayah sangat berpengaruh terhadap masyarakat, walaupun perbedaan wilayah itu hanya disebabkan oleh sungai Batang merao yang membentang membagi wilayah ini. Kebudayaan khusus atas factor kedaerahan, factor kedaerahan akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang dimana ia bertempat tinggal.[3] Namun dengan demikian membuat suatu sifat fanatik yang tinggi untuk menjunjung kebibawaan wilayah mereka walaupun berakibat konflik.
Penduduk wilayah siulak mukai pada umumnya merupakan masyarakat pribumi yang sudah lama menetap dan bertempat tinggal di wilayah ini. Sedangkan penduduk dari siulak gedang terdiri dari masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang yang kemudian menetap di wilayah Siulak Gedang ini, msayarakat pendatang pada umumnya berasal dari Sumatera Barat yang merantau ke kerinci dan menjadi masyarakat kerinci, dan pendatang lainnya berasal dari jawa[4].
Pada tahun 1950 Kehidupan masyarakat Siulak memiliki sebuah tradisi perang, yang dinamakan perang tanah beludai[5]. Tradisi perang ini dilakukan setelah panen padi (padi yang umurnya bias sampai satu tahun untuk panen), hal itu yakini bahwa perang ini akan membawa berkah terhadap hasil panen padi untuk selanjutnya. Tradisi perang ini juga bertujuan olah raga saja[6].
Perang tanah beludai tidak diperkenankan membawa senjata tajam[7], seperti golok, pisau dan senjata tumpul lainnya, dalam tradisi perang beludai sangat di junjung sportifitas, dimana hanya menggunakan tangan kosong untuk melawan dan melindungi diri, serta mengandalkan tenaga sendiri.
Tradisi perang pada awal mula kejadiannya dilakukan oleh sekelompok anak-anak, anak-anak dari desa yang satu dengan yang lain, sehingga perang tanah beludai ini bisa dibilang perang antar desa, antara desa yang satu dengan yang lain. Kemudian para pemuda juga ikut serta, jadi secara lansung tidak lansung perang itu berubah dari perang antara anak-anak, berubah menjadi perang remaja, seringkali orang dewasa ikut dalam perang itu, kemudian dengan ikutnya kaum dewasa maka perang yang awalnya didalam desa berpindah ke luar desa yang dibawa ke tanah beludai.[8]
Tradisi perang itu sangat ditunggu oleh masyarakat Siulak, sehingga perang itu menjadi tontonan bagi masyarakat di sore hari, baik bagi kaum perempuan maupun golongan tua. Golongan remaja sangat bersemangat ketika ditonton oleh para gadis-gadis, karena “ ado batino batambah iyang ati kito duen, apolagi ado uhang ngan kito kasayeng nonton[9]artinya “dengan adanya wanita menonton menimbulkan semangat yang besar, apalagi wanita yang kita sayang”.
Perang itu selesai ketika akan masuk waktu Magrib, Setelah masuknya waktu magrib dilakukan mandi bersama di sungai, untuk membersihkan diri, karena perang itu dilakukan dipersawahan yang penuh dengan lumpur. Setelah perang itu selesai, selesailah cerita perang tersebut, dan tidak ada dendam antara yang satu dengan yang lain[10].
Tradisi perang ini ketika musim menanam padi, tradisi ini bersambung. karena,  Pada saat itu orang-orang sibuk dengan acara menanam padi, tempat perang itu ditanami padi, sehingga perang dihentikan untuk sementara waktu hingga musim panen padi yang selanjutnya.[11]
Tradisi ini sudah menjadi kewajiban setelah panen bagi masyarakat Siulak Mukai, sampai saatnya ditahun 1994 didalam tradisi ini memakan korban jiwa yang bernama Mat Johar, yang mana Mat Johar merupakan salah satu anggota keamanan setempat yang diutus oleh Kodim beserta kaum adat setempat, bekerja sama untuk memberhentikan konflik tradisi dikarenakan tradisi itu sudah mulai memakai senjata, dan juga meresahkan pemerintahan setempat[12]. Namun peleraian yang dilakukan oleh pasukan itu membuat Mat Johar meninggal dunia yaitu pada tanggal 27 April 1994. Setelah meninggalnya Mat Johar,  Konflik itu diselesaikan oleh kodim dan pemerintahan setempat beserta kaum adat, supaya tidak terjadi korban jiwa untuk selanjutnya.
Berakhirnya tradisi tanah berudai juga ada pengaruhnya terhadap kemajuan teknologi dibidang pertanian, bibit unggul (padi BB) yang diberikan kepada masyarakat pada tahun 1994. Bibit padi unggul ini memiliki umur jauh lebih singkat yakni 3 bulan, dibandingkan dengan bibit padi sebelumnya yang berumur sekitar satu tahun[13].sehingga dengan adanya pembagian bibit unggul kepada masyarakat membuat terjadinya perubahan kebiasaan pada masyarakat.
Perang tanah beludai yang sudah lama dilansungkan ini membawa dampak buruk terhadap kepribadian masyarakat Siulak Mukai, karena susahnya menghilangkan tradisi yang sudah lama terjadi di masyarakat Siulak Mukai yang berawal dari hilangnya tradisi tersebut.


[1] Wawancara dengan Anasrizal
[2] Wawancara dengan Anasrizal
[3] Elly M. Setiadi, Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2011) hal. 183
[4] Wawancara dengan sudiro
[5] Perang tanah berudai yaitu perang yang dilaksanakan disuatu tempat yang mana tempat itu merupakan daerah persawahan di belakang desa siulak mukai tersebut dan diselenggarakan setelah pelaksanaan panen padi.
[6][6] Wawancara dengan Martinus
[7] Wawancara dengan Naspuriadi
[8] Wawancara dengan Martinus
[9] Wawancara dengan  Emriadi
[10] Wawancara dengan Naspuriadi
[11] ibid
[12] Wawancara dengan Martinus
[13] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar